
Sedekah Laut, Sebuah Tradisi Adat Leluhur Yang Dilestarikan Masyarakat Nelayan Pantai Gesing Panggung Kabupaten Gunungkidul
Bidik Ekspres.id | Kab Gunungkidul
Upacara adat Sedekah Laut menjadi tradisi yang hingga saat ini masih dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat nelayan di Pantai Gesing, Girikarto, Panggang, Gunungkidul. Tradisi yang digelar sekali setiap tahunnya tersebut bertujuan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan doa agar para nelayan setempat senantiasa diberikan keselamatan dan rezeki yang berlimpah saat melaut.
Lurah Girikarto, Sumardiyono mengungkapkan, ritual sedekah laut yang dilaksanakan di Pantai Gesing ini sudah dilakukan semenjak Pantai Gesing dibuka untuk penangkapan ikan. Tahun 2024 ini, tradisi tersebut telah kembali dilaksanakan masyarakat nelayan di Pantai Gesing pada Selasa (15/10) pagi.
Sumardiyono pun menjelaskan, dalam pelaksanaan sedekah laut kali ini, gunungan yang dipersiapkan para nelayan untuk dilabuh berjumlah 8 gunungan. Sebelum gunungan tersebut dilarung di tengah laut, prosesi sedekah laut ini diawali dengan kenduri. Selanjutnya, kedelapan gunungan diarak dengan pendampingan juru kunci, nelayan, dan masyarakat ke bibir pantai.
Setelah tiba di tepi pantai, sebelum gunungan dinaikkan ke atas kapal, dilakukan pula prosesi tabur bunga. Kemudian, seluruh kapal yang telah membawa gunungan berlayar ke arah tengah laut untuk kemudian melarung kedelapan gunungan.
“Dalam larungan ini kami membuat yang namanya gunungan. Gunungan ini berbentuk miniatur rumah yang diisi sesaji-sesaji di dalamnya. Sesaji itu berwujud nasi yang dibuat kecil-kecil, terus biasanya ada kepala kambing, ada ayam hidup, terus rangkaian kebaya jarit komplet itu ya kemarin dibikin 8,” terang Sumardiyono kepada Humas Pemda DIY saat dihubungi pada Kamis 17/10.
Disampaikan Sumardiyono, pelaksanaan sedekah laut ini juga berkesinambungan dengan pembukaan Cupu Panjolo Mulyo yang dilaksanakan sehari sebelum dilakukannya upacara sedekah laut ini. Cupu Panjolo merupakan sebuah guci yang ditutup kain kafan dimana kain tersebut hanya diganti setiap setahun sekali, yaitu setiap malam Selasa Kliwon setiap bulan Rabiul Awal atau bulan Mulud.
Ada tiga jenis cupu yang selama ini dijaga dan dirawat oleh masyarakat. Ketiga cupu itu yakni Cupu Semar Tinandu, Cupu Palang Kinantang, dan Cukup Kenthiwiri. Cupu Semar Tinandu merupakan gambaran keadaan penguasa dan pejabat tinggi. Cupu Palang Kinantang sebagai gambaran untuk masyarakat menengah ke bawah. Cupu Kenthiwiri untuk menggambarkan rakyat kecil.
Sebelum membuka pembungkus atau penutup Cupu Kyai Panjolo, masyarakat akan melaksanakan kenduri, yakni membaca doa dan makan bersama sepiring nasi uduk dengan lauk ayam, dan urap. Ritual pembukaan selimut Cupu Kyai Panjolo ini berlangsung di Kalurahan Girisekar.
Melalui gambar yang terbentuk dari kain penutup 3 guci kecil pusaka nenek moyang yang disebut cupu ini, masyarakat Gunungkidul meyakini sebagai gambaran peristiwa yang akan terjadi satu tahun mendatang. Gambar yang muncul tidak selalu sama setiap tahunnya. Hal inilah yang diyakini masyarakat menjadi gambaran peristiwa masa depan.***
Sumber: Humas Prov DIY