Media dan Pers Memiliki Peran Krusial Debagai Katalisator, Kemen PPPA Ajak Pers Bangun Kesadaran Publik Cegah Kekerasan Berbasis Gender
Bidik Ekspres.id | Jakarta
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memahami media dan pers memiliki peran krusial sebagai katalisator untuk mempercepat pemahaman masyarakat tentang pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG). Sinergi dan kolaborasi melalui penyebaran informasi publik di berbagai jenis platform, baik televisi, radio, media online mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pencegahan dan penanganan segala bentuk kekerasan.
“Kekerasan berbasis gender adalah kejahatan serius yang harus ditangani secara serius. Ikhtiar pemerintah tidak pernah putus asa untuk melindungi perempuan dan anak. Kerja sinergi dan kolaborasi menjadi pilar atau kuncinya termasuk dengan media dan pers. Peningkatan kapasitas media dan pemahaman terkait hak-hak perempuan dan juga anak harus terus dilakukan,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Kemen PPPA, Ratna Susianawati.
Sebagai rangkaian aksi kolaborasi multisektoral dalam mencegah KBG, Kemen PPPA menginisiasi kegiatan yang melibatkan pemangku kepentingan dari media dan pers. Inisiasi ini dikemas dalam kegiatan dialog interaktif bertajuk “Aksi dan Kolaborasi Pentahelix: Penguatan Media dan Pers dalam Pencegahan dan Respon Kekerasan Berbasis Gender”, Senin (30/9) di Jakarta.
Berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang terjadi di Indonesia menjadi tantangan bagi semua pihak. Tidak hanya terjadi di ranah offline, namun ranah online kini juga menjadi medium kekerasan berbasis gender dengan korban paling banyak adalah kelompok perempuan dan anak.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menuturkan ada satu tugas penting pers dalam hal distribusi berita yakni mampu menilai dampak dari pemberitaan. “Jurnalis tidak hanya merdeka merdeka dalam mencari informasi dan fakta-fakta sebagai sumber berita, mengolah, menyimpan data-datanya namun ketika menyebarkan juga punya tanggung jawab terhadap dampak (dari tulisannya),” ungkap Ninik.
Ninik menambahkan pentingnya pers mengedepankan prinsip perlindungan korban dan responsif gender dalam setiap pemberitaan kasus kekerasan. Temuan penelitian Dewan Pers tahun 2022 mencatat 87% yang melakukan pelanggaran kode etik itu merupakan media online, di antaranya menyebutkan identitas korban, mendiskriminasi dengan memberikan stereotip terhadap perempuan, pelabelan, atau menyalahkan korban.
Menurut Ninik, seseorang itu jika disebut sebagai wartawan harus dia patuh terhadap kode etik. Dewan Pers dalam hal ini sudah mempunyai kode etik untuk membuat pagar terhadap kebebasan pers. “Syarat berita itu harus verifikasi, akurat berulang-ulang. Tanpa akurasi bukannya Anda membantu tapi Anda akan berpotensi mereviktimisasi (menyalahkan kembali) korban kekerasan seperti menyebutkan identitas korban. Teman-teman media saya ingatkan, dalam konteks kekerasan gender jangan jadi buzzer. Hak korban meskipun satu orang itu hak sebagai manusia yang harus kita bela, jangan cuma kejar cuan,” tambah Ninik.
Redaktur Eksekutif Tempo, Yandhrie Arvian Tekanan pers atau wartawan adalah sumber informasi dan corong suara kebijakan, dengan memprioritaskan suara korban dan mempromosikan hak korban, pers bisa membantu mengurangi beban masalah yang mereka hadapi. Anton juga membagikan langkah-langkah yang bisa dilakukan pers dalam hal pemberitaan terkait kekerasan berbasis gender.
“Pertama sebagai media harus fokus pada penanganan kasus kekerasan terutama kekerasan seksual agar lebih transparan, dengan mendorong transparansi kita bisa mengadvokasi penanganan atau penyelesaian kasus yang berpihak pada korban. Kedua, menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender di redaksi. Banyak juga tulisan atau artikel yang menginspirasi misalnya sebagai wadah korban untuk bersuara,” kata Redaktur Eksekutif Tempo, Yandhrie Arvian.
Dialog interaktif bertajuk “Aksi dan Kolaborasi Pentahelix: Penguatan Media dan Pers dalam Pencegahan dan Respon Kekerasan Berbasis Gender” ini merupakan kegiatan lanjutan dari kick off yang dilaksanakan pada 11 Juli 2024 lalu. Kegiatan ini terdiri dari dua sesi yaitu dialog interaktif atau talkshow dan lokakarya atau workshop, dengan narasumber lainnya yakni Direktur Program dan Berita LPP TVRI Arif Adi Kuswardono, Gender Program Specialist UNFPA Risya Ariyani Kori, Ketua Bidang Media dan Networking JRKI Akhmad Rofahan, Social Activist dan Content Creator Nabila Ishma dalam mewujudkan nol toleransi terhadap kekerasan berbasis gender, memperkuat sinergi kolaborasi multisektoral, serta meningkatkan kompetensi insan pers dalam menyajikan produk jurnalistik yang mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan hak perempuan dan anak.***
Sumber: Humas Kemen PPPA